Minggu, 15 Mei 2011

Bukan Cowok Gampangan

Cerpen Erni Ningsih

YULIA tidak menduga kalau ternyata pemuda yang dikenalnya adalah cowok matre yang baik. Semuanya bermula dari nonton konser Ungu. Itu tu, grup band yang lagi digilai sama anak-anak muda. Siapa sich yang nggak kenal? Malam itu adalah malam Minggu, malam panjang buat kawula muda. Yulia sudah janjian dengan ketiga temannya Yeyen, Uni, dan Marisa untuk nonton konser. Mereka bertiga lebih tepat disebut sahabat. Yulia kenal mereka waktu ospek masuk perguruan tinggi. Sejak itulah hubungan mereka makin akrab. 
Selepas maghrib Marisa menjemput Yulia dengan motor bututnya yang ketinggalan mode. “Tapi boleh jugalah,” gumam Yulia, sambil nyengir  di depan pintu menatap Marisa dengan motornya.
“Uni sama Yeyen mana?” tanya Yulia, saat menempelkan pantat di belakang Marisa.
“Mereka tunggu di depan lorong,” jawab Marisa, sambil menyalakan motornya dengan beberapa kali engkolan.
Sesampainya di depan lorong mereka bertemu dan segera berangkat bersama-sama. Lagi-lagi Yulia kesal dengan motor bututnya Marisa.
“Mar, apa nggak bisa cepetan dikit ni? Mereka sudah jauh tuh!” Marisa menudingkan telunjuknya ke arah depan.
“Cerewet amat sichMending ni motor bisa jalan. Kalau tidak sabar, ya turun saja.”
Yulia hanya diam saja sambil memonyongkan bibirnya ke arah Marisa.
Setelah beberapa menit Yeyen dan Uni menunggu, akhirnya Marisa dan Yulia muncul juga. Mereka segera memarkirkan motornya dan masuk gerbang.
“Wah, rame buanget. Aku nggak nampak ni,” kata Uni, sambil mendongakkan kepalanya sambil berjinjit. Marisa yang masih sedikit kesal dengan Yulia tadi mencoba menanggapi Uni.
“Kamu tidak nampak bukannya karena banyak orang, tapi karena kamunya pendek.”
Mendengar kata-kata Marisa itu, darah Uni merasa mendidih. Ia paling tidak suka disinggung tentang fisiknya, tubuh yang pendek, hidung yang pesek, dan kulit yang gelap.
“Memangnya kenapa kalau aku pendek?” sambil matanya melotot ke arah Marisa.
Sebelum pertengkaran keduanya semakin menjadi, Yeyen segera ikut campur. “Sudah, sudah! Kalau cuma mau berantem, untuk apa kita ke sini?”
Lalu Yeyen melangkah ke depan menuju ke arah penonton yang berjubel, tanpa sepatah kata ketiganya mengikuti Yeyen.
Malam semakin larut, namun penonton masih tetap berjubel dan berdesakan. Termasuk juga Yeyen, Uni, Yulia, dan Marisa. Mereka semakin asik menikmati malam panjangnya. Terdengar suara penonton berteriak histeris ketika Ungu menyanyikan lagunya yang berjudul “Andai Ku Tau.” Album ini kan berhasil meraih predikat nominasi album religi terbaik di SCTV Award. Yang kasetnya laku terjual puluhan ribu kopi di pasaran. Wau!, laris manis.
Sedang asik-asiknya menikmati alunan lagu, Yulia terkejut. Terasa ada yang  memegang pantatnya. Dilihatnya ke samping kanan. Ada seorang pemuda bertubuh tinggi, berjaket hitam, dan rambut sedikit gondrong yang dipotong cincang. Pemuda itu cuek, pura-pura tidak melakukan apa-apa. Melihatnya Yulia semakin jengkel. Langsung dilayangkan tangan kanannya dan mendarat ke pipi kiri pemuda itu. Plak. Spontan pemuda itu memegang pipinya dan berpaling ke arah Yulia. Dengan heran ia memandang Yulia dari atas kepala sampai ujung kaki.
“Apa-apaan kamu?”
Meskipun wajahnya terlihat marah, namun Yulia tidak takut, karena Yulia merasa benar, dan orang benar selalu menang.
“Eh, jangan pura-pura ya! Kamu kira Aku tidak tahu kalau kamu yang pegang.”
“Pegang apa?” pemuda itu semakin marah mendengar tuduhan Yulia.
“Kamu kan yang pegang pantatku?”
“Coba ya, kalau ngomong mikir dulu! Kamu kira aku cowok gampangan apa?”
“Jadi kamu kira aku cewek gampangan?”
“Aku tidak bilang gitu. Kamu sendiri yang ngaku.”
Mendengar kata-kata itu Yulia tidak sanggup mengendalikan dirinya. Tanpa sadar tangan kirinya sudah mendarat lagi di pipi pemuda itu. Plak. Kali ini di pipi sebelah kiri. Setelah menerima tamparan yang kedua, pemuda itu semakin marah. Di bentaknya Yulia, “dasar brengsek!”
Kemarahan pemuda itu semakin memuncak. Tapi anehnya, ketika pemuda itu marah-marah, Yulia merasa pantatnya ada yang memegang lagi. Dilihatnya ke belakang, ternyata hanya seorang bocah sekitar tujuh tahunan. Kemudian orang separuh baya di belakangnya segera menggendong bocah itu dan berkata, ”maafkan anak saya ya Mbak, Saya tadikecapean, jadi saya turunkan!”
Setelah semuanya jelas, namun pertengkaran keduanya terus berlanjut. Ketiga teman Yulia tidak menghiraukannya. Mereka mengira Yulia sedang bertemu dengan temannya. Uni, Marisa, dan Yeyen terus asik terlarut dalam alunan lagu. Hingga sangking jengkelnya pemuda itu kepada Yulia yang tidak mau kalah, lalu ditariknya tangan Yulia diajak ke belakang  untuk menyelesaikannya. Kejadiannya begitu cepat hingga Yulia tidak sempat berpamitan dengan ketiga sahabatnya.
Sampainya di belakang, pemuda itu menuntut ganti rugi atas tamparan Yulia.
“Ganti rugi apa? Justru aku yang rugi bertemu sama orang macam kamu!”
“Dasar cewek sialan! Aku mau uang ganti rugi Rp500.000 atas tamparan tadi. Kalau nggak, aku balas dua tamparan!”
“Ye, tadi katanya bukan cowok gampangan. Tapi kayaknya cowok matre!”
Pertengkaran keduanya semakin hebat. Sementara penonton lainnya sudah mulai bubar. Yulia terlihat tidak begitu konsen lagi dengan pertengkarannya. Matanya jelalatan mencari ketiga sahabatnya di antara desakan pintu ke luar. Diperhatikannya setiap orang yang memakai baju warna ungu. Tadi kan Marisa memakai baju warna ungu. Tapi terlalu banyak sekali orang yang memakai baju warna ungu malam itu. Bisa-bisa Yulia ketemu sama Pasha lagi, vokalis Ungu. Ah, tapi tidak mungkin. Tentunya Pasha kan banyak pengawalnya. Matanya terus memburu setiap orang yang memakai baju berwarna ungu dan semakin tidak menghiraukan pemuda itu.
Penonton tinggal sedikit, namun Yulia belum juga menemukan salah seorang pun dari sahabatnya. Ia segera ke luar melihat ke parkiran tempat Yeyen dan Marisa memarkirkan motor bututnya. Tapi motor mereka sudah tidak ada. Pasti mereka sudah pulang. Yulia masih terus berharap kalau Marisa kembali menjemput dengan motor bututnya.
Dilihatnya ke kanan, ke kiri, justru Yulia bertemu lagi dengan pemuda tadi. Kali ini keduanya lebih dingin. Yulia pura-pura tidak melihatnya tapi ia tahu kalau pemuda itu melewatinya sambil melirik. Pemuda itu pun segera berlalu dengan motor Ninjanya. Sementara Yulia terpaku mencari-cari sahabatnya.
Tidak lama kemudian tampak pemuda itu kembali untuk menghampiri Yulia.
“Ayo naik. Mau pulang tidak? Sudah jam satu ni!” sambil matanya mengisyaratkan ke arloji di pergelangan tangannya.
Mata Yulia juga ikut melirik ke arloji itu. Benar pukul satu. Lalu pandangannya beralih memperhatikan wajah pemuda itu.
“Tidak usah takut. Aku bukan cowok gampangan.”
Lagi-lagi kata itu. Yulia tidak suka mendengarnya. Seolah-olah berarti dialah yang cewekgampangan. Kali ini Yulia lebih mengendalikan diri, ia hanya diam.
Ayo!” pemuda itu mengerang-erangkan motornya memberi isyarat pada Yulia untuk segera naik. Lalu pemuda itu berhitung, “1, 2, …”
Dalam hitungan kedua Yulia segera duduk di boncengan pemuda itu.
Tepat pukul 01.30, Yulia tiba di rumah. Ia segera mencuci mukanya dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Matanya sayu tapi tidak bisa terpejam. Ia terus menatap langit-langit kamarnya. Tampak sosok pemuda itu di sana. Yulia terus bertanya-tanya, “siapa dia?” bahkan namanya pun, Yulia tidak tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan